“Fyuh, mogok lagi. Bagaimana bisa aku pergi ke
sana kalau mobilku seperti ini? Mana sepi lagi!” Umpat seorang pria sambil
menendang sebuah mobil mewah warna merah yang dibawanya. Pria itu lalu
mengeluarkan sebuah handphone keluaran terbaru yang didapatnya beberapa hari
yang lalu dan dengan cepat menghubungi sebuah bengkel yang sudah menjadi
langganannya.
“Maaf Pak, hari ini kami tutup.” Begitu suara
yang ia dengar dari seberang sana. Dengan kesal dia menutup telepon. Dia sedang
berusaha menghubungi bengkel lain ketika tiba-tiba teleponnya mati. Low
battery.
“Sial!” umpatnya sambil menyandarkan diri pada
pintu kursi kemudi. Jari telunjuk tangannya mengurut dahi sedangkan ibu jarinya
mengurut dagu. Tangan kirinya diletakkan melintang di atas perut.
Sebenarnya hari ini pria itu akan menghadiri
sebuah rapat bersama rekan setimnya untuk membahas pemilihan umum yang sedang
berlangsung. Pria itu termasuk tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres
dari kelima pasang peserta pemilu tahun ini. Dalam rapat nanti rencananya
mereka akan membahas tentang berhasilkah strategi yang mereka pergunakan untuk
memenangkan pasangan capres-cawapres; sebut saja pasangan X. Pagi tadi sebelum
matahari terbit, dia –juga anggota tim sukses yang lain – sudah menyebar orang
untuk memenangkan pasangan X.
Pria itu hendak melihat jam tangan Rolex
miliknya saat ia melihat seorang tukang becak sedang mengayuh becak ke arahnya.
Dia menunggu tukang becak itu mendekat dan memberhentikannya.
“Pak, bisa tolong antarkan saya ke Gedung Y ?”
“Oh, iya pak bisa. Silahkan.” Jawab tukang
becak sambil turun dari becaknya.
“Sebentar ya pak, saya ambil tas saya di mobil
dulu.”
“Silahkan Pak.” Tawar tukang becak sambil
menunggingkan becaknya ketika pria itu selesai mengambil tas dan mengunci
mobilnya.
“Terima kasih, pak.” Sahutnya sambil naik ke
becak tersebut.
“Iya pak, sama-sama.” Jawab tukang becak yang
kemudian mulai mengayuh becaknya lagi ke arah Gedung Y.
Gedung Y merupakan gedung yang digunakan
sebagai kantor kerja partai politik yang mengusung pasangan X. Di gedung itulah
mereka dulu mendeklarasikan diri sebagai capres dan cawapres. Sehingga gedung
ini kemudian digunakan sebagai tempat berkumpulnya timses pemenangan pasangan
X. Gedung ini terletak di ujung Jalan Mangga.
Sebenarnya untuk menuju ke gedung ini bisa
melewati jalan besar. Tapi pria itu tak ingin melewati jalan utama. Selain
untuk menghindari operasi petugas, dia juga tidak ingin terjebak macaet oleh
orasi dari simpatisan pasangan X yang sedang menggelar aksi damai di sekitar Gedung
Y.
Pria itu mengamati tukang becak yang
mengantarnya. Karena tak menemukan yang dia cari, dia lalu bertanya pada tukang
becak itu.
“Nggak ikut nyoblos, Pak?” tanya pria itu
dengan nada sedikit angkuh.
“Wah tidak Pak.” tukang becak itu menjawab
dengan santun.
“Kok nggak ikut kenapa pak?”
“Kalau saya nyoblos, saya nanti tidak kerja,
kalau saya tidak kerja saya tidak punya uang, ya saya nanti tidak bisa makan.”
“Tapi satu suara itu penting buat menentukan
kehidupan negara kita selanjutnya.”
“Walah pak, pak. Mikir kok mikir negara, lha
wong mikirke perut saya dan keluarga saya saja sudah susah.”
“Memang anaknya bapak ada berapa?”
“Anak saya dua, yang pertama perempuan, yang
kedua laki-laki.”
“Masih sekolah semua pak anaknya?
“Walah pak, kula niku tiyang alit, mboten
gadhah artha damel nyekolahke.”jawab tukang becak polos.
“Berarti anaknya gak sekolah semua, Pak?
Gimana kehidupan bapak bisa layak kalau anak bapak saja tidak sekolah?” Pria
itu bertanya dengan nada menyindir.
Tukang becak itu tersenyum tipis mendengar
pertanyaan pria itu.
“Anak saya sekolah kok pak, tapi yang pertama
cuma lulus SD terus kerja. Kalau yang kedua masih kelas 6 SD.”
“Memang anaknya bapak yang pertama sekarang
umur berapa? Kenapa bukan ibunya saja yang kerja?”
“15 tahun pak.” Tukang becak itu diam sejenak.
“Istri saya sudah meninggal 5 tahun yang lalu.”
Hening.
Tukang becak itu mengelap keringat yang
membasahi wajah dan leher gelapnya. Siang ini begitu terik. Langit tak berhias
gumpalan awan gelap. Hanya ada matahari berteman awan tipis yang jarang.
“Pak, kenapa anak bapak tidak melanjutkan
sekolah? Kan sekarang ada beasiswa miskin?” Pria itu bertanya lagi.
“Apa kalau sudah dapat beasiswa miskin itu
sekolah gratis? Tidak pak.” Kembali tukang becak itu menyunggingkan senyum
tipis.
“Ya gratis lah pak, kan pemerintah sudah
memutuskan begitu.” Pria itu menjawab dengan sedikit emosi.
“Ah itu kan teorinya saja, kenyataannya untuk
mencari surat keterangan miskin saja sulit. Anak saya yang pertama mau
mendaftar SMP, masih diminta biaya pendaftaran, biaya administrasi, seragam,
buku pelajaran. Belum lagi sepatu, tas, buku tulis, dan biaya transportasi ke
sekolahnya itu juga mahal.”
“Ya kalau itu memang begitu, Pak. Masak
semuanya dibayari pemerintah?” sahut pria itu tak mau kalah.
“Saya tahu, lalu bagaimana dengan anak kedua
saya yang tetap disuruh membeli buku pendamping pelajaran dan LKS, padahal
seharusnya mendapat buku pinjaman dari sekolah. Kalau dia tidak punya buku dia
tidak boleh ikut pelajaran. Itu baru masalah buku, akhir tahun nanti sekolah
anak saya mau mengadakan wisata dan semuanya harus ikut. Itu bagaimana?” Tukang
becak kembali bertanya pada pria itu
Pria itu terkejut mendengar jawaban tukang
becak.
“Masak seperti itu pak, kan ada aturan kalau
tidak boleh menjual buku, lks, dan meminta pungutan lain?” pria itu masih tak
percaya.
“Anda tidak tahu pak, aturannya memang begitu
tapi ternyata, semua melenceng dari aturan.” Jawab tukang becak tetap santun
dengan senyum samar di bibirnya.
Pria itu tertegun. Kata-kata santun dan polos
tukang becak itu membuatnya terpana, tak disangkanya ternyata selama ini hal
itu benar-benar terjadi.
“Nah makanya itu pak, harusnya bapak tadi ikut
milih presiden, milih pasangan X biar bisa merubah keadaan.”
Tukang becak itu terdiam sejenak, tangannya
mengusap keringat yang mengalir dari wajah dan lehernya menggunakan handuk biru
tua lusuh yang setia menggantung di leher gelapnya. Kakinya tetap mengayuh
becak sumber penghidupannya.
Tukang becak itu dahulu tidak seapatis
sekarang. Bahkan dia termasuk simpatisan fanatik sebuah parpol. Kehidupannya
dahulu pun tidak sesulit sekarang. Dahulu dia termasuk ornag yang berkecukupan
–kalau tidak bisa dibilang kaya. Namun, semua berubah ketika negara api
menyerang 5 tahun yang lalu. Yah, rumahnya ludes terbakar bersama istri yang
sangat dicintainya. Dia baru saja pulang dari rapat tim sukses pasangan
capres-cawapres parpolnya ketika dia mendapati rumahnya luluh lantak terbakar.
Dan dia menemukan jasad istrinya hangus di dalam puing rumah itu. Tetangga dan
mobil pemadam kebakaran pun sudah berusaha memadamkan api, namun tak berhasil.
Semua hartanya habis tak bersisa. Hanya apa yang menempel di tubuhnya dan kedua
anaknyalah harta yang masih dimilikinya. Anaknya memang tak berada di rumah
pada saat kejadian. Setelah kejadian itu, beberapa tetangga dengan baik hati
memberikan makanan, pakaian, dan tumpangan tempat tinggal sementara untuk
mereka bertiga.
Dua hari setelah kejadian itu, dia pergi ke
kantor parpol kebanggaannya. Di sana dia meminta bantuan untuk dapat tetap
hidup. Bukannya dibantu, dia malah diusir dengan alasan parpol tak bisa
membantu apa-apa. Dia menghubungi rekan-rekan setimnya untuk meminta bantuan.
Mereka tak banyak membantu, hanya dua orang yang memberikan uang sekadarnya
untuknya.
Dia kecewa terhadap parpol itu, tak
disangkanya parpol yang selama ini dibanggakannya, dibelanya mati-matian tak
bisa memberikan bantuan kepadanya. Sejak saaat itu dia benci partai politik
manapun. Berpartisipasi dalam pemilihan umum pun dia tak mau. Dia beranggapan siapapun
yang terpilih tak akan mengubah banyak kehidupannya. Hanya dia yang bisa
mengubah kehidupannya agar seperti dahulu lagi dengan bekerja. Seorang juragan
becak dikampungnya menawari pekerjaan untuk menjadi tukang becak. Dia
menerimanya dan itulah sumber penghidupannya sampai sekarang.
“Pak, apakah kalau saya memilih pasangan X
kehidupan saya jadi lebih baik daripada sekarang?” tanya tukang becak setelah
beberapa saat terdiam.
“O iya pasti, pasangan X itu punya visi dan
misi yang akan menyejahterakan kehidupan semua rakyat. Mereka akan menciptakan
jutaan lapangan kerja, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis dan masih
baanyak lagi. Hidup rakyat pasti sejahtera kalau pasangan X yang jadi
presiden.” Jawab pria itu dengan semangat menggebu-gebu.
“Apakah bapak yakin dan bisa menjamin itu?”
Tanya tukang becak pada pria angkuh itu.
“Oiya tentu, saya percaya dan berani jamin
kalau mereka bisa menyejahterakan rakyat.” Jawab pria itu tak mau kalah.
“Pasangan presiden yang sekarang pun dahulu menjanjikan
demikian. Tapi kenyataannya pendidikan masih mahal, pengangguran tetap banyak,
layanan kesehatan gratis dipersulit. Untuk mendapatkan jaminan kesehatan saja
kita mesti membayar setiap bulan, padahal janjinya semua benar-benar gratis.”
Tukang becak itu mengungkapkan pendapatnya.
“Kalau semuanya gratis ya tidak bisa dong pak,
dana negara kan terbatas.” Elak si pria angkuh.
“Kalau memang dana negara terbatas, mengapa
dia berani menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhinya? Okelah kalau tidak
bisa digratiskan semua. Lalu bagaimana dengan beras miskin yang penuh kutu dan
berkapur? Kami memang orang miskin pak, tapi bukan berarti kami bisa
diperlakukan seperti itu. Kami manusia pak, bukan binatang peliharaan. Kami
butuh makan yang layak.”
“Memangnya bapak pernah mendapatkan beras
miskin seperti itu? Pasti bapak hanya nonton tv. Yang diberitakan itu tidak
selalu sesuai kenyataan, Pak.”
“Saya tidak akan berkata demikian kalau saya
tidak mengalaminya sendiri pak.”
“Ah, itu kan presiden yang dulu, kalau saja bapak
hari ini memilih pasangan X dan pasangan X menjadi presiden, semua itu tidak
akan terjadi pak. Saya jamin.” Pria angkuh itu meyakinkan tukang becak.
“Bagaimana bapak bisa menjamin kalau semua itu
akan terjadi sementara bapak bukan Tuhan, bukan nabi, bahkan bapak bukan
paranormal. Tentang kehidupan bapak sendiri saja bapak tidak tahu apa yang akan
terjadi setelah ini, masih hidupkah bapak satu menit lagi, masih sehatkah bapak
satu detik lagi? Bapak tidak tahu kan? Bagaimana bapak bisa menjamin kalau pasangan
X mampu menyejahterakan rakyat seperti saya? Jangan takabur pak, jangan
sombong, Tuhan tidak suka orang sombong.”
Hening.
Pria itu diam. Tak disangkanya tukang becak
yang dianggapnya bodoh, tak berpendidikan bisa mengatakan hal semacam itu. Dalam
hening itu, bayangan-bayangan masa lalu melintas di pikirannya. Tentang dia
yang menerima suap sebuah mobil mewah yang kini mogok untuk meloloskan
kerjasama sebuah perusahaan dengan pemerintah. Tentang jam tangan dan handphone
keluaran terbaru yang didapatnya dari pemotongan dana bantuan beras untuk
rakyat miskin. Tentang hatinya yang tak pernah tenang dan selalu tergesa-gesa.
Tentang jabatan yang didapatkannya dengan cara haram. Tentang dia yang
semena-mena dalam jabatannya. Tentang dia yang tak pernah menanggapi
masalah-masalah sosial.Tentang strategi pemenangan yang curang. Dan semua hal
kotor yang pernah dilakukannya.
Pria angkuh itu teringat betapa dulu kedua
orang tuanya selalu berpesan padanya untuk tak menyalahgunakan jabatan. Orangtuanya
tak segan untuk menghukumnya ketika dia salah. Mereka telah membesarkannya
dengan tuntunan ilmu agama yang kuat. Tapi yang terjadi sekarang adalah anak
yang dibesarkan dengan penuh perjuangan, keringat, air mata dan doa itu kini
menjadi pejabat yang buta, yang tak mengindahkan nasehat-nasehat kedua orang
tuanya yang telah tiada. Dia menjadi buta karena jabatan. Menjadi tuli karena
harta. Dan menjadi budak kemewahan dunia.
Tukang becak itu berhenti mengayuh becaknya.
Dia turun dari becaknya. Suaranya yang berat membuyarkan lamunan pria yang
memintanya untuk mengantar ke Gedung Y.
“Sudah sampai pak.” Kata tukang becak sambil
menunggingkan becaknya.
Pria itu terkejut. “Oh iya, terimakasih pak.”
Jawabnya sambil turun dari becak. Diambilnya uang 100.000 dari kantong celana
dan diberikannya pada tukang becak itu.
“Ini pak ongkosnya, kembaliannya ambil saja.”
Katanya kemudian.
“Terima kasih, tunggu sebentar pak. Tukang
becak itu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan mengambil empat
lembar uang dua puluh ribuan.
“Ini pak, kembaliannya.Maaf saya tidak mau
menerima uang yang tidak saya ketahui asalnya, ongkos becak saya untuk
perjalanan dari tempat mogoknya mobil bapak sampai di Gedung Y hanya 20 ribu
pak.” Kata tukang becak itu sambil menyodorkan uang kembalian si pria angkuh.
“Tapi pak...” pria angkuh itu berusaha menolak
kembaliannya.
“Permisi, terima kasih pak.” Sahut tukang
becak itu sambil memutar becaknya meninggalkan pria itu dalam diam. Segera
tukang becak itu mengemudikan becaknya lagi. Tak sampai 10 meter jarak antara
dia dan pria itu, tiba-tiba sebuah dentuman yang sangat keras terdengar. Pria
itu terpental. Semua simpatisan di sekitar Gedung Y berlari menuju jasad
seorang pria yang baru saja terpental itu. Sementara tukang becak itu hanya
memperhatikan dari kejauhan dalam diam. Tak ada yang tahu bagaimana akhir dari
kehidupan seseorang.
Hening di ujung jalan.