Saturday, July 26, 2014

Kita bertemu dalam maya yang kemudian menjadi nyata, namun tak pernah benar-benar nyata.




Berkenalan denganmu adalah hal yang tak pernah kuduga dalam hidupku. Apalagi bertemu dalam semu, semua mengalir begitu saja. Aku seperti terpikat pada caramu mengetikkan kata-kata untukku. Sehingga aku merasa nyaman denganmu -orang yang sama sekali belum pernah kukenal dalam nyata.  Aku tahu bukan hanya aku yang nyaman denganmu. Kurasa semua perempuan yang mengenalmu merasa demikian. Aku tahu aku bukanlah satu-satunya perempuan yang kamu perlakukan begitu baik, ramah, penuh perhatian. tapi aku merasa ada yang berbeda -Kau memperlakukanku lebih. Ah mungkin ini hanya perasaanku saja, sangkalku saat itu. Namun kau benar-benar membuatku menepiskan semua sangkalanku. Memberiku berbagai emoticon yang sensitif membuatku semakin yakin aku berbeda. 

Suatu hari dalam hidupku, kau mengutarakan keinginanmu dan lagi-lagi dengan semu. aku terkejut. Namun entah mengapa aku seperti terbius dengan semua perlakuanmu hingga aku mengiyakan permintaanmu. Sebuah keputusan yang bodoh kurasa. Menerima cinta dari seseorang yang bahkan tak kuketahui dia benar-benar nyata atau tidak.  Tapi bukankah cinta bisa membuat seseorang bertindak bodoh? Dan orang bodoh itu termasuk aku, bahkan mungkin juga kamu. Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan sepertinya kau pun begitu.

Tak banyak yang aku ketahui darimu, hanya nama, sekolah, alamat, dan wajah –foto- bahkan aku pun tak mengetahui faktakah semua itu, nyatakah, atau hanya sekedar bualan belaka. Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan sepertinya kau pun begitu.

Waktu bergulir dan aku masih bersamamu. Tunggu. Benarkah aku bersamamu? Bahkan tujuh bulan setelah aku mengenalmu dan satu bulan setelah aku mengiyakan permintaanmu pun aku tak pernah sekalipun bertemu denganmu. Terlihat mustahil? Memang, tapi itu yang terjadi. Lagipula, bukankah cinta bisa membuat sesuatu yang “mustahil” menjadi “nyata”? Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan sepertinya kau pun begitu. Dan kita bertemu. Pertemuan singkat tanpa obrolan antara kamu dan aku. Masih malu-malu dan merasa kebingungan dengan apa yang akan dibicarakan. Seolah aku sudah tau semua tentangmu hanya dengan melihatmu –begitu juga kau.

Setelah pertemuan itu, seperti biasa kita kembali hangat dalam pesan singkat dan dingin dalam tatap. 

Waktu masih berjalan mengiringi kesibukanku dan tentu saja kesibukanmu. Lebih-lebih kamu. Buaian tugas-tugas perencanaanmu telah meninabobokan kamu dalam duniamu, tanpa aku. Dan kita tetap saja dingin dalam tatap meskipun tak terlalu hangat dalam pesan singkat. Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan sepertinya kau pun begitu. 

Namun, benarkah komunikasi yang tersendat bisa tetap menjaga langgengnya hubungan cinta sepasang anak manusia? Tentu saja tidak. Komunikasi yang semakin berkurang intensitasnya, ditambah hanya sedikit yang bisa diceritakan tak ayal mengganggu jalinan kasih yang telah terajut sedemikian rupa. Salah paham karena hal sepele, dan sikap kekanak-kanakan pun semakin membuat jalinan kasih itu koyak. Ditambah lagi pertemuan yang tak sering, hanya sebentar dan penuh canggung berhasil membuat jalinan kasih itu terberai. Yang aku tahu, aku (masih) menyayangimu.

Kini,ketika jalinan kasih yang telah terberai itu terajut kembali, tetap saja dua hal penting dalam sebuah jalinan kasih –komunikasi dan pertemuan- tak cukup rapat untuk menghiasi rajutan kasih sayang dua anak manusia;aku dan kamu. Dan canggung, kata itu masih melekat erat di otakku setiap kali kita bertemu hingga saat ini, setelah lebih dari 2 tahun aku “bersamamu”.

No comments:

Post a Comment