Berkenalan denganmu adalah hal yang tak pernah kuduga dalam hidupku.
Apalagi bertemu dalam semu, semua mengalir begitu saja. Aku seperti terpikat
pada caramu mengetikkan kata-kata untukku. Sehingga aku merasa nyaman denganmu
-orang yang sama sekali belum pernah kukenal dalam nyata. Aku tahu bukan hanya aku yang nyaman
denganmu. Kurasa semua perempuan yang mengenalmu merasa demikian. Aku tahu aku
bukanlah satu-satunya perempuan yang kamu perlakukan begitu baik, ramah, penuh
perhatian. tapi aku merasa ada yang berbeda -Kau memperlakukanku lebih. Ah
mungkin ini hanya perasaanku saja, sangkalku saat itu. Namun kau benar-benar
membuatku menepiskan semua sangkalanku. Memberiku berbagai emoticon yang
sensitif membuatku semakin yakin aku berbeda.
Suatu hari dalam hidupku, kau mengutarakan keinginanmu dan lagi-lagi dengan
semu. aku terkejut. Namun entah mengapa aku seperti terbius dengan semua
perlakuanmu hingga aku mengiyakan permintaanmu. Sebuah keputusan yang bodoh
kurasa. Menerima cinta dari seseorang yang bahkan tak kuketahui dia benar-benar
nyata atau tidak. Tapi bukankah cinta
bisa membuat seseorang bertindak bodoh? Dan orang bodoh itu termasuk aku,
bahkan mungkin juga kamu. Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan
sepertinya kau pun begitu.
Tak banyak yang aku ketahui darimu, hanya nama, sekolah, alamat, dan wajah
–foto- bahkan aku pun tak mengetahui faktakah semua itu, nyatakah, atau hanya
sekedar bualan belaka. Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu. Dan
sepertinya kau pun begitu.
Waktu bergulir dan aku masih bersamamu. Tunggu. Benarkah aku bersamamu?
Bahkan tujuh bulan setelah aku mengenalmu dan satu bulan setelah aku mengiyakan
permintaanmu pun aku tak pernah sekalipun bertemu denganmu. Terlihat mustahil?
Memang, tapi itu yang terjadi. Lagipula, bukankah cinta bisa membuat sesuatu
yang “mustahil” menjadi “nyata”? Tak penting. Yang aku tahu, aku menyayangimu.
Dan sepertinya kau pun begitu. Dan kita bertemu. Pertemuan singkat tanpa
obrolan antara kamu dan aku. Masih malu-malu dan merasa kebingungan dengan apa
yang akan dibicarakan. Seolah aku sudah tau semua tentangmu hanya dengan melihatmu
–begitu juga kau.
Setelah pertemuan itu, seperti biasa kita kembali hangat dalam pesan
singkat dan dingin dalam tatap.
Waktu masih berjalan mengiringi kesibukanku dan tentu saja kesibukanmu.
Lebih-lebih kamu. Buaian tugas-tugas perencanaanmu telah meninabobokan kamu
dalam duniamu, tanpa aku. Dan kita tetap saja dingin dalam tatap meskipun tak
terlalu hangat dalam pesan singkat. Tak penting. Yang aku tahu, aku
menyayangimu. Dan sepertinya kau pun begitu.
Namun, benarkah komunikasi yang tersendat bisa tetap menjaga langgengnya
hubungan cinta sepasang anak manusia? Tentu saja tidak. Komunikasi yang semakin
berkurang intensitasnya, ditambah hanya sedikit yang bisa diceritakan tak ayal
mengganggu jalinan kasih yang telah terajut sedemikian rupa. Salah paham karena
hal sepele, dan sikap kekanak-kanakan pun semakin membuat jalinan kasih itu
koyak. Ditambah lagi pertemuan yang tak sering, hanya sebentar dan penuh
canggung berhasil membuat jalinan kasih itu terberai. Yang aku tahu, aku (masih)
menyayangimu.
Kini,ketika jalinan kasih yang telah terberai itu terajut kembali, tetap
saja dua hal penting dalam sebuah jalinan kasih –komunikasi dan pertemuan- tak
cukup rapat untuk menghiasi rajutan kasih sayang dua anak manusia;aku dan kamu.
Dan canggung, kata itu masih melekat erat di otakku setiap kali kita bertemu hingga
saat ini, setelah lebih dari 2 tahun aku “bersamamu”.
No comments:
Post a Comment