Wednesday, September 3, 2014

Hening di Ujung Jalan




“Fyuh, mogok lagi. Bagaimana bisa aku pergi ke sana kalau mobilku seperti ini? Mana sepi lagi!” Umpat seorang pria sambil menendang sebuah mobil mewah warna merah yang dibawanya. Pria itu lalu mengeluarkan sebuah handphone keluaran terbaru yang didapatnya beberapa hari yang lalu dan dengan cepat menghubungi sebuah bengkel yang sudah menjadi langganannya.
“Maaf Pak, hari ini kami tutup.” Begitu suara yang ia dengar dari seberang sana. Dengan kesal dia menutup telepon. Dia sedang berusaha menghubungi bengkel lain ketika tiba-tiba teleponnya mati. Low battery.
“Sial!” umpatnya sambil menyandarkan diri pada pintu kursi kemudi. Jari telunjuk tangannya mengurut dahi sedangkan ibu jarinya mengurut dagu. Tangan kirinya diletakkan melintang di atas perut.
Sebenarnya hari ini pria itu akan menghadiri sebuah rapat bersama rekan setimnya untuk membahas pemilihan umum yang sedang berlangsung. Pria itu termasuk tim sukses salah satu pasangan capres-cawapres dari kelima pasang peserta pemilu tahun ini. Dalam rapat nanti rencananya mereka akan membahas tentang berhasilkah strategi yang mereka pergunakan untuk memenangkan pasangan capres-cawapres; sebut saja pasangan X. Pagi tadi sebelum matahari terbit, dia –juga anggota tim sukses yang lain – sudah menyebar orang untuk memenangkan pasangan X.
Pria itu hendak melihat jam tangan Rolex miliknya saat ia melihat seorang tukang becak sedang mengayuh becak ke arahnya. Dia menunggu tukang becak itu mendekat dan memberhentikannya.
“Pak, bisa tolong antarkan saya ke Gedung Y ?”
“Oh, iya pak bisa. Silahkan.” Jawab tukang becak sambil turun dari becaknya.
“Sebentar ya pak, saya ambil tas saya di mobil dulu.”
“Silahkan Pak.” Tawar tukang becak sambil menunggingkan becaknya ketika pria itu selesai mengambil tas dan mengunci mobilnya.
“Terima kasih, pak.” Sahutnya sambil naik ke becak tersebut.
“Iya pak, sama-sama.” Jawab tukang becak yang kemudian mulai mengayuh becaknya lagi ke arah Gedung Y.
Gedung Y merupakan gedung yang digunakan sebagai kantor kerja partai politik yang mengusung pasangan X. Di gedung itulah mereka dulu mendeklarasikan diri sebagai capres dan cawapres. Sehingga gedung ini kemudian digunakan sebagai tempat berkumpulnya timses pemenangan pasangan X. Gedung ini terletak di ujung Jalan Mangga.
Sebenarnya untuk menuju ke gedung ini bisa melewati jalan besar. Tapi pria itu tak ingin melewati jalan utama. Selain untuk menghindari operasi petugas, dia juga tidak ingin terjebak macaet oleh orasi dari simpatisan pasangan X yang sedang menggelar aksi damai di sekitar Gedung Y.
Pria itu mengamati tukang becak yang mengantarnya. Karena tak menemukan yang dia cari, dia lalu bertanya pada tukang becak itu.
“Nggak ikut nyoblos, Pak?” tanya pria itu dengan nada sedikit angkuh.
“Wah tidak Pak.” tukang becak itu menjawab dengan santun.
“Kok nggak ikut kenapa pak?”
“Kalau saya nyoblos, saya nanti tidak kerja, kalau saya tidak kerja saya tidak punya uang, ya saya nanti tidak bisa makan.”
“Tapi satu suara itu penting buat menentukan kehidupan negara kita selanjutnya.”
“Walah pak, pak. Mikir kok mikir negara, lha wong mikirke perut saya dan keluarga saya saja sudah susah.”
“Memang anaknya bapak ada berapa?”
“Anak saya dua, yang pertama perempuan, yang kedua laki-laki.”
“Masih sekolah semua pak anaknya?
“Walah pak, kula niku tiyang alit, mboten gadhah artha damel nyekolahke.”jawab tukang becak polos.
“Berarti anaknya gak sekolah semua, Pak? Gimana kehidupan bapak bisa layak kalau anak bapak saja tidak sekolah?” Pria itu bertanya dengan nada menyindir.
Tukang becak itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan pria itu.
“Anak saya sekolah kok pak, tapi yang pertama cuma lulus SD terus kerja. Kalau yang kedua masih kelas 6 SD.”
“Memang anaknya bapak yang pertama sekarang umur berapa? Kenapa bukan ibunya saja yang kerja?”
“15 tahun pak.” Tukang becak itu diam sejenak. “Istri saya sudah meninggal 5 tahun yang lalu.”
Hening.
Tukang becak itu mengelap keringat yang membasahi wajah dan leher gelapnya. Siang ini begitu terik. Langit tak berhias gumpalan awan gelap. Hanya ada matahari berteman awan tipis yang jarang.
“Pak, kenapa anak bapak tidak melanjutkan sekolah? Kan sekarang ada beasiswa miskin?” Pria itu bertanya lagi.
“Apa kalau sudah dapat beasiswa miskin itu sekolah gratis? Tidak pak.” Kembali tukang becak itu menyunggingkan senyum tipis.
“Ya gratis lah pak, kan pemerintah sudah memutuskan begitu.” Pria itu menjawab dengan sedikit emosi.
“Ah itu kan teorinya saja, kenyataannya untuk mencari surat keterangan miskin saja sulit. Anak saya yang pertama mau mendaftar SMP, masih diminta biaya pendaftaran, biaya administrasi, seragam, buku pelajaran. Belum lagi sepatu, tas, buku tulis, dan biaya transportasi ke sekolahnya itu juga mahal.”
“Ya kalau itu memang begitu, Pak. Masak semuanya dibayari pemerintah?” sahut pria itu tak mau kalah.
“Saya tahu, lalu bagaimana dengan anak kedua saya yang tetap disuruh membeli buku pendamping pelajaran dan LKS, padahal seharusnya mendapat buku pinjaman dari sekolah. Kalau dia tidak punya buku dia tidak boleh ikut pelajaran. Itu baru masalah buku, akhir tahun nanti sekolah anak saya mau mengadakan wisata dan semuanya harus ikut. Itu bagaimana?” Tukang becak kembali bertanya pada pria itu
Pria itu terkejut mendengar jawaban tukang becak.
“Masak seperti itu pak, kan ada aturan kalau tidak boleh menjual buku, lks, dan meminta pungutan lain?” pria itu masih tak percaya.
“Anda tidak tahu pak, aturannya memang begitu tapi ternyata, semua melenceng dari aturan.” Jawab tukang becak tetap santun dengan senyum samar di bibirnya.
Pria itu tertegun. Kata-kata santun dan polos tukang becak itu membuatnya terpana, tak disangkanya ternyata selama ini hal itu benar-benar terjadi.
“Nah makanya itu pak, harusnya bapak tadi ikut milih presiden, milih pasangan X biar bisa merubah keadaan.”
Tukang becak itu terdiam sejenak, tangannya mengusap keringat yang mengalir dari wajah dan lehernya menggunakan handuk biru tua lusuh yang setia menggantung di leher gelapnya. Kakinya tetap mengayuh becak sumber penghidupannya.
Tukang becak itu dahulu tidak seapatis sekarang. Bahkan dia termasuk simpatisan fanatik sebuah parpol. Kehidupannya dahulu pun tidak sesulit sekarang. Dahulu dia termasuk ornag yang berkecukupan –kalau tidak bisa dibilang kaya. Namun, semua berubah ketika negara api menyerang 5 tahun yang lalu. Yah, rumahnya ludes terbakar bersama istri yang sangat dicintainya. Dia baru saja pulang dari rapat tim sukses pasangan capres-cawapres parpolnya ketika dia mendapati rumahnya luluh lantak terbakar. Dan dia menemukan jasad istrinya hangus di dalam puing rumah itu. Tetangga dan mobil pemadam kebakaran pun sudah berusaha memadamkan api, namun tak berhasil. Semua hartanya habis tak bersisa. Hanya apa yang menempel di tubuhnya dan kedua anaknyalah harta yang masih dimilikinya. Anaknya memang tak berada di rumah pada saat kejadian. Setelah kejadian itu, beberapa tetangga dengan baik hati memberikan makanan, pakaian, dan tumpangan tempat tinggal sementara untuk mereka bertiga.
Dua hari setelah kejadian itu, dia pergi ke kantor parpol kebanggaannya. Di sana dia meminta bantuan untuk dapat tetap hidup. Bukannya dibantu, dia malah diusir dengan alasan parpol tak bisa membantu apa-apa. Dia menghubungi rekan-rekan setimnya untuk meminta bantuan. Mereka tak banyak membantu, hanya dua orang yang memberikan uang sekadarnya untuknya.
Dia kecewa terhadap parpol itu, tak disangkanya parpol yang selama ini dibanggakannya, dibelanya mati-matian tak bisa memberikan bantuan kepadanya. Sejak saaat itu dia benci partai politik manapun. Berpartisipasi dalam pemilihan umum pun dia tak mau. Dia beranggapan siapapun yang terpilih tak akan mengubah banyak kehidupannya. Hanya dia yang bisa mengubah kehidupannya agar seperti dahulu lagi dengan bekerja. Seorang juragan becak dikampungnya menawari pekerjaan untuk menjadi tukang becak. Dia menerimanya dan itulah sumber penghidupannya sampai sekarang.
“Pak, apakah kalau saya memilih pasangan X kehidupan saya jadi lebih baik daripada sekarang?” tanya tukang becak setelah beberapa saat terdiam.
“O iya pasti, pasangan X itu punya visi dan misi yang akan menyejahterakan kehidupan semua rakyat. Mereka akan menciptakan jutaan lapangan kerja, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis dan masih baanyak lagi. Hidup rakyat pasti sejahtera kalau pasangan X yang jadi presiden.” Jawab pria itu dengan semangat menggebu-gebu.
“Apakah bapak yakin dan bisa menjamin itu?” Tanya tukang becak pada pria angkuh itu.
“Oiya tentu, saya percaya dan berani jamin kalau mereka bisa menyejahterakan rakyat.” Jawab pria itu tak mau kalah.
“Pasangan presiden yang sekarang pun dahulu menjanjikan demikian. Tapi kenyataannya pendidikan masih mahal, pengangguran tetap banyak, layanan kesehatan gratis dipersulit. Untuk mendapatkan jaminan kesehatan saja kita mesti membayar setiap bulan, padahal janjinya semua benar-benar gratis.” Tukang becak itu mengungkapkan pendapatnya.
“Kalau semuanya gratis ya tidak bisa dong pak, dana negara kan terbatas.” Elak si pria angkuh.
“Kalau memang dana negara terbatas, mengapa dia berani menjanjikan sesuatu yang tidak bisa dipenuhinya? Okelah kalau tidak bisa digratiskan semua. Lalu bagaimana dengan beras miskin yang penuh kutu dan berkapur? Kami memang orang miskin pak, tapi bukan berarti kami bisa diperlakukan seperti itu. Kami manusia pak, bukan binatang peliharaan. Kami butuh makan yang layak.”
“Memangnya bapak pernah mendapatkan beras miskin seperti itu? Pasti bapak hanya nonton tv. Yang diberitakan itu tidak selalu sesuai kenyataan, Pak.”
“Saya tidak akan berkata demikian kalau saya tidak mengalaminya sendiri pak.”
“Ah, itu kan presiden yang dulu, kalau saja bapak hari ini memilih pasangan X dan pasangan X menjadi presiden, semua itu tidak akan terjadi pak. Saya jamin.” Pria angkuh itu meyakinkan tukang becak.
“Bagaimana bapak bisa menjamin kalau semua itu akan terjadi sementara bapak bukan Tuhan, bukan nabi, bahkan bapak bukan paranormal. Tentang kehidupan bapak sendiri saja bapak tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, masih hidupkah bapak satu menit lagi, masih sehatkah bapak satu detik lagi? Bapak tidak tahu kan? Bagaimana bapak bisa menjamin kalau pasangan X mampu menyejahterakan rakyat seperti saya? Jangan takabur pak, jangan sombong, Tuhan tidak suka orang sombong.”
Hening.
Pria itu diam. Tak disangkanya tukang becak yang dianggapnya bodoh, tak berpendidikan bisa mengatakan hal semacam itu. Dalam hening itu, bayangan-bayangan masa lalu melintas di pikirannya. Tentang dia yang menerima suap sebuah mobil mewah yang kini mogok untuk meloloskan kerjasama sebuah perusahaan dengan pemerintah. Tentang jam tangan dan handphone keluaran terbaru yang didapatnya dari pemotongan dana bantuan beras untuk rakyat miskin. Tentang hatinya yang tak pernah tenang dan selalu tergesa-gesa. Tentang jabatan yang didapatkannya dengan cara haram. Tentang dia yang semena-mena dalam jabatannya. Tentang dia yang tak pernah menanggapi masalah-masalah sosial.Tentang strategi pemenangan yang curang. Dan semua hal kotor yang pernah dilakukannya.
Pria angkuh itu teringat betapa dulu kedua orang tuanya selalu berpesan padanya untuk tak menyalahgunakan jabatan. Orangtuanya tak segan untuk menghukumnya ketika dia salah. Mereka telah membesarkannya dengan tuntunan ilmu agama yang kuat. Tapi yang terjadi sekarang adalah anak yang dibesarkan dengan penuh perjuangan, keringat, air mata dan doa itu kini menjadi pejabat yang buta, yang tak mengindahkan nasehat-nasehat kedua orang tuanya yang telah tiada. Dia menjadi buta karena jabatan. Menjadi tuli karena harta. Dan menjadi budak kemewahan dunia.
Tukang becak itu berhenti mengayuh becaknya. Dia turun dari becaknya. Suaranya yang berat membuyarkan lamunan pria yang memintanya untuk mengantar ke Gedung Y.
“Sudah sampai pak.” Kata tukang becak sambil menunggingkan becaknya.
Pria itu terkejut. “Oh iya, terimakasih pak.” Jawabnya sambil turun dari becak. Diambilnya uang 100.000 dari kantong celana dan diberikannya pada tukang becak itu.
“Ini pak ongkosnya, kembaliannya ambil saja.” Katanya kemudian.
“Terima kasih, tunggu sebentar pak. Tukang becak itu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan mengambil empat lembar uang dua puluh ribuan.
“Ini pak, kembaliannya.Maaf saya tidak mau menerima uang yang tidak saya ketahui asalnya, ongkos becak saya untuk perjalanan dari tempat mogoknya mobil bapak sampai di Gedung Y hanya 20 ribu pak.” Kata tukang becak itu sambil menyodorkan uang kembalian si pria angkuh.
“Tapi pak...” pria angkuh itu berusaha menolak kembaliannya.
“Permisi, terima kasih pak.” Sahut tukang becak itu sambil memutar becaknya meninggalkan pria itu dalam diam. Segera tukang becak itu mengemudikan becaknya lagi. Tak sampai 10 meter jarak antara dia dan pria itu, tiba-tiba sebuah dentuman yang sangat keras terdengar. Pria itu terpental. Semua simpatisan di sekitar Gedung Y berlari menuju jasad seorang pria yang baru saja terpental itu. Sementara tukang becak itu hanya memperhatikan dari kejauhan dalam diam. Tak ada yang tahu bagaimana akhir dari kehidupan seseorang.
Hening di ujung jalan.

Sepasang Besi



Ketika hati tak saling menatap
Otak merindu penuh harap
Datang seorang pembawa kalap
Membawa rasa menghilang dan lenyap

Aku masih disini
Meratapi sepasang besi mati
Besi yang menjadi saksi
Tuturan lembut seorang pengagum hati

Tutur lembut yang perlahan menjadi tajam
Bagai belati yang menghujam
Menghujani dada begitu kejam
Tanpa ampun menusuk penuh geram

Lupakah kau pada sepasang besi,
Deretan bantal beton berbaris rapi,
Nyanyian bising lokomotif kereta api
Yang mengiringi tutur canda penggembira hati?

Tutur lembut yang perlahan sirna
Senyum manis yang tak lagi terasa
Setelah pembawa kalap menghadang kita
Menghentikan bahagia yang tercipta

3/9/2014