Saturday, December 5, 2015

Gadis Bulan

Sebesar dan sekuat apapun ombak yang menghampiri pantai, pada akhirnya akan kembali ke lautan. Mengikis pasir dan hanya menyisakan jejak basah.
**


“Mas, coba liat bulan malam ini. Indah, terang sekali.” Kata gadis itu sambil menggamit lengan lelaki di sampingnya dan melihat langit.
“Iyaa, kamu benar. Bulan malam ini indah sekali. Sudah lama aku tak melihat bulan seindah ini.” Jawab lelaki itu sambil mengikuti arah pandangan gadis itu. “Terima kasih yaa.” Lanjutnya kemudian, sambil menatap manik kecil itu. Manik yang ditatap pun ikut menatap sepasang manik cokelat itu dalam keremangan.
“Rasanya aku ingin selalu menatap bulan, karena bulan akan selalu mengingatkan aku tentangmu.” Bisik lelaki itu lembut. Bibir gadis itu tersenyum, hangat.
**

Malam ini gadis itu berada di kamar kecilnya, sendirian. Benar-benar sendirian. Tak ada teman yang dapat dia hubungi untuk sekedar bercerita tentang suasana hatinya saat ini. Remuk. Mulutnya pun tak mampu bercerita sendiri sebagaimana biasanya ketika dia bersedih. Entah sudah berapa banyak tisu yang dia gunakan untuk menghapus air matanya. Dan sepertinya mata itu sudah tak ingin menumpahkan air lagi untuk ditampung di lembaran tisu. Hanya menatap kosong ke dalam cermin yang tergantung di depan tempat tidur.

Perlahan, sebuah penggalan film tentang hidupnya terputar di depan mata. Sangat jelas bagaimana beberapa hari yang lalu seorang lelaki datang ke rumahnya untuk mengantarkan hadiah ulang tahun. Terlalu biasa? Memang. Tapi tidak bagi gadis itu. Dia sangat menyukainya. Lelaki muda yang masih sibuk dengan tugas kuliahnya rela mengorbankan sedikit waktu untuk menemuinya di hari ulang tahun. Itu sangat istimewa di matanya. Hari itu dia sangat bahagia.

Mata kecil itu berkedip. Masih teringat jelas bagaimana perasaannya kemarin saat lelaki itu tiba-tiba ingin menjauhinya. Tak ada angin, tak ada badai, tapi lelaki itu ingin pergi. “Aku menyayangimu, dan aku tahu kau juga menyayangiku. Tapi kita tak bisa seperti ini terus. Aku merasa berdosa padamu dan juga padanya.” Kata lelaki itu. Gadis itu sangat terpuruk ketika itu. Air mata yang memenuhi matanya tak bisa ia keluarkan dengan leluasa karena ada banyak orang di sekitarnya. Yah, dulu gadis itu memang pernah meminta hal ini –meminta lelaki itu menjauhinya. Tapi itu dulu, sebelum perasaan itu mekar dalam hatinya.

Saat itu lelaki itu baru saja mengakhiri hubungannya dengan teman gadis itu. Ada rasa bersalah dalam benak gadis itu ketika si lelaki mendekatinya. Tapi bagaimanapun, dia ingin bahagia. Namun baru sebentar gadis itu berbahagia, laki-laki itu memutuskan untuk kembali pada kekasihnya dahulu –teman gadis itu. Dia mengatakan pada lelaki itu bahwa dia akan baik-baik saja, tapi kenyataannya sebaliknya. Gadis itu tak bisa fokus pada ujiannya ketika itu. Gadis yang semula ceria dan banyak bercerita itu menjadi pendiam dan sering melamun.

Beberapa hari kemudian lelaki itu menghubunginya lagi dan mengatakan ingin tetap dekat dengannya. Sungguh dalam hati rasanya gadis itu ingin memaki laki-laki ini. Sudah memiliki temannya namun tetap ingin mendekatinya. Dasar lelaki egois. Tapi keinginannya untuk berbahagia melebihi itu. Gadis itu pun kembali seperti semula. Bahagia, riang,  dan banyak bicara. Meskipun dalam hati dia merasa bersalah dan merasa hal ini tak akan lama.

Keduanya sangat menjadi sangat dekat. Saling berkirim pesan setiap hari. Bahkan jika kau membaca conversation antara mereka, kau akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Begitu dekat, hangat, dan bahagia. Saat gadis itu ulang tahun, lelaki itu mengunjunginya di rumah untuk sekedar memberikan sebuah kado. Padahal gadis itu tahu benar bahwa lelaki itu tengah sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya.  Sebuah hal yang istimewa bagi gadis itu karena tak ada yang pernah melakukan ini sebelumnya bahkan kekasih gadis itu dahulu.

Benar rupanya bahwa kebahagiaan itu semu, seperti cahaya bulan –hal yang sangat disukai gadis itu. Malam itu, bulan bersinar terang di langit. Gadis itu tengah berada di area pemakaman salah seorang kyai yang sering diziarahi orang-orang ketika lelaki itu mengutarakan keinginan untuk menjauhi gadis itu. “Aku ingin kau mencari orang yang lebih baik daripada aku, yang hanya mencintaimu. Seandainya nanti kau tidak menemukannya atau setelah menemukannya ternyata kau lebih mencintaiku, kau boleh kembali padaku.” Tulis lelaki itu dalam pesannya. “Apa maksudmu mengatakan ini padaku? Kau gila? Kau pikir semudah itu melepaskan orang yang kau cintai untuk mencari orang lain? Egois sekali dirimu, setelah selama ini aku menerimamu bahkan menjadi “selingkuhanmu” sekarang kau ingin melepaskanku begitu saja? Kau bilang dari dulu kau menginginkanku? Kenapa sekarang justru kau ingin melepaskanku? Kalau kau lebih memilih dia, mengapa kau tak bisa tegas mengatakan itu padaku sejak dulu?” Maki gadis itu dalam diamnya. Ingin sekali gadis itu memaki sang lelaki dengan kata-kata itu. Namun hanya “Apa kau yakin dengan keputusanmu itu?” yang berhasil dikirimnya dalam pesan singkat. Remuk. Hancur.  “Maafkan aku, sabarkan dirimu ya. Percaya saja akan ada waktu untuk kita bersama, setidaknya untuk memenuhi janji kita berjalan berdua di Malioboro. Aku percaya kamu gadis yang kuat dan tangguh.” Balas lelaki itu. Dan air mata kembali tertahan dalam kelopak mata gadis itu.


Air mata kembali bergulir menyusuri pipi gadis itu. Masih di depan cermin, gadis itu memperhatikan wajahnya sendiri lekat namun kosong seolah dia sedang berhadapan dengan si lelaki. “Kau memang seperti ombak. Menenangkan, menghanyutkan. Selalu mencari pantai. Namun tak pernah menetap di pantai itu. Selalu menuju pantai. Namun akhirnya kembali ke laut. Mengikis pasir. Menyisakan basah. Dan menghampiri hanya untuk melukai.” ... 

No comments:

Post a Comment