Sebesar dan
sekuat apapun ombak yang menghampiri pantai, pada akhirnya akan kembali ke
lautan. Mengikis pasir dan hanya menyisakan jejak basah.
**
“Mas, coba liat
bulan malam ini. Indah, terang sekali.” Kata gadis itu sambil menggamit lengan
lelaki di sampingnya dan melihat langit.
“Iyaa, kamu
benar. Bulan malam ini indah sekali. Sudah lama aku tak melihat bulan seindah
ini.” Jawab lelaki itu sambil mengikuti arah pandangan gadis itu. “Terima kasih
yaa.” Lanjutnya kemudian, sambil menatap manik kecil itu. Manik yang ditatap
pun ikut menatap sepasang manik cokelat itu dalam keremangan.
“Rasanya aku
ingin selalu menatap bulan, karena bulan akan selalu mengingatkan aku
tentangmu.” Bisik lelaki itu lembut. Bibir gadis itu tersenyum, hangat.
**
Malam ini gadis
itu berada di kamar kecilnya, sendirian. Benar-benar sendirian. Tak ada teman
yang dapat dia hubungi untuk sekedar bercerita tentang suasana hatinya saat
ini. Remuk. Mulutnya pun tak mampu bercerita sendiri sebagaimana biasanya
ketika dia bersedih. Entah sudah berapa banyak tisu yang dia gunakan untuk
menghapus air matanya. Dan sepertinya mata itu sudah tak ingin menumpahkan air
lagi untuk ditampung di lembaran tisu. Hanya menatap kosong ke dalam cermin
yang tergantung di depan tempat tidur.
Perlahan, sebuah
penggalan film tentang hidupnya terputar di depan mata. Sangat jelas bagaimana
beberapa hari yang lalu seorang lelaki datang ke rumahnya untuk mengantarkan
hadiah ulang tahun. Terlalu biasa? Memang. Tapi tidak bagi gadis itu. Dia
sangat menyukainya. Lelaki muda yang masih sibuk dengan tugas kuliahnya rela
mengorbankan sedikit waktu untuk menemuinya di hari ulang tahun. Itu sangat
istimewa di matanya. Hari itu dia sangat bahagia.
Mata kecil itu
berkedip. Masih teringat jelas bagaimana perasaannya kemarin saat lelaki itu
tiba-tiba ingin menjauhinya. Tak ada angin, tak ada badai, tapi lelaki itu
ingin pergi. “Aku menyayangimu, dan aku tahu kau juga menyayangiku. Tapi kita
tak bisa seperti ini terus. Aku merasa berdosa padamu dan juga padanya.” Kata
lelaki itu. Gadis itu sangat terpuruk ketika itu. Air mata yang memenuhi
matanya tak bisa ia keluarkan dengan leluasa karena ada banyak orang di
sekitarnya. Yah, dulu gadis itu memang pernah meminta hal ini –meminta lelaki
itu menjauhinya. Tapi itu dulu, sebelum perasaan itu mekar dalam hatinya.
Saat itu lelaki
itu baru saja mengakhiri hubungannya dengan teman gadis itu. Ada rasa bersalah
dalam benak gadis itu ketika si lelaki mendekatinya. Tapi bagaimanapun, dia
ingin bahagia. Namun baru sebentar gadis itu berbahagia, laki-laki itu
memutuskan untuk kembali pada kekasihnya dahulu –teman gadis itu. Dia
mengatakan pada lelaki itu bahwa dia akan baik-baik saja, tapi kenyataannya
sebaliknya. Gadis itu tak bisa fokus pada ujiannya ketika itu. Gadis yang semula
ceria dan banyak bercerita itu menjadi pendiam dan sering melamun.
Beberapa hari
kemudian lelaki itu menghubunginya lagi dan mengatakan ingin tetap dekat
dengannya. Sungguh dalam hati rasanya gadis itu ingin memaki laki-laki ini.
Sudah memiliki temannya namun tetap ingin mendekatinya. Dasar lelaki egois.
Tapi keinginannya untuk berbahagia melebihi itu. Gadis itu pun kembali seperti
semula. Bahagia, riang, dan banyak
bicara. Meskipun dalam hati dia merasa bersalah dan merasa hal ini tak akan
lama.
Keduanya sangat
menjadi sangat dekat. Saling berkirim pesan setiap hari. Bahkan jika kau
membaca conversation antara mereka, kau akan mengira bahwa mereka adalah
sepasang kekasih. Begitu dekat, hangat, dan bahagia. Saat gadis itu ulang
tahun, lelaki itu mengunjunginya di rumah untuk sekedar memberikan sebuah kado.
Padahal gadis itu tahu benar bahwa lelaki itu tengah sibuk dengan tugas-tugas
kuliahnya. Sebuah hal yang istimewa bagi
gadis itu karena tak ada yang pernah melakukan ini sebelumnya bahkan kekasih gadis
itu dahulu.
Benar rupanya
bahwa kebahagiaan itu semu, seperti cahaya bulan –hal yang sangat disukai gadis
itu. Malam itu, bulan bersinar terang di langit. Gadis itu tengah berada di
area pemakaman salah seorang kyai yang sering diziarahi orang-orang ketika
lelaki itu mengutarakan keinginan untuk menjauhi gadis itu. “Aku ingin kau
mencari orang yang lebih baik daripada aku, yang hanya mencintaimu. Seandainya
nanti kau tidak menemukannya atau setelah menemukannya ternyata kau lebih
mencintaiku, kau boleh kembali padaku.” Tulis lelaki itu dalam pesannya. “Apa
maksudmu mengatakan ini padaku? Kau gila? Kau pikir semudah itu melepaskan
orang yang kau cintai untuk mencari orang lain? Egois sekali dirimu, setelah
selama ini aku menerimamu bahkan menjadi “selingkuhanmu” sekarang kau ingin
melepaskanku begitu saja? Kau bilang dari dulu kau menginginkanku? Kenapa
sekarang justru kau ingin melepaskanku? Kalau kau lebih memilih dia, mengapa
kau tak bisa tegas mengatakan itu padaku sejak dulu?” Maki gadis itu dalam
diamnya. Ingin sekali gadis itu memaki sang lelaki dengan kata-kata itu. Namun
hanya “Apa kau yakin dengan keputusanmu itu?” yang berhasil dikirimnya dalam
pesan singkat. Remuk. Hancur. “Maafkan
aku, sabarkan dirimu ya. Percaya saja akan ada waktu untuk kita bersama,
setidaknya untuk memenuhi janji kita berjalan berdua di Malioboro. Aku percaya
kamu gadis yang kuat dan tangguh.” Balas lelaki itu. Dan air mata kembali
tertahan dalam kelopak mata gadis itu.
Air mata kembali
bergulir menyusuri pipi gadis itu. Masih di depan cermin, gadis itu
memperhatikan wajahnya sendiri lekat namun kosong seolah dia sedang berhadapan
dengan si lelaki. “Kau memang seperti ombak. Menenangkan, menghanyutkan. Selalu
mencari pantai. Namun tak pernah menetap di pantai itu. Selalu menuju pantai.
Namun akhirnya kembali ke laut. Mengikis pasir. Menyisakan basah. Dan
menghampiri hanya untuk melukai.” ...
No comments:
Post a Comment