Kau memang
seperti bulan. Selalu muncul dalam gelap. Selalu bersinar meskipun semu. Selalu
tersenyum meski pilu. Selalu menunjukkan kebahagiaan meski perasaanmu tak
tentu.
**
Srrppt....aku
menyeruput kopi di cangkirku dalam diam. Aku sedang berada di balkon rumahku
sekarang. Dengan cangkir kopi dan cawan di tangan, aku mengamati pemandangan di
sekitarku. Sepi. Tak menarik. Hanya ada rumah-rumah yang entah masih
berpenghuni atau tidak dan... bulan. Malam ini bulan purnama, sangat terang,
sangat indah. “Karena bulan akan selalu mengingatkan aku tentangmu.” Kalimat itu
refleks terdengar. Aku menggeleng cepat.
“Tidak, kau tak
boleh memikirkannya lagi. Kau harus sadar siapa pasanganmu sekarang. Dan itu
bukan dia.” bibirku bicara. “Lebih baik aku masuk.”
Aku mengambil ponselku untuk mengirim pesan singkat kepada kekasihku –berharap ini dapat menyadarkanku tentang kenyataan. Namun bukannya mengetik pesan singkat, jariku malah membuka album foto dan mencari foto gadis itu. Aku terpaku melihat gadis itu sedang tersenyum dalam foto. Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Sungguh. Sakit sekali rasanya ketika melihat gadis itu tersenyum seperti itu. Senyum bahagia yang begitu tulus mengalir dari hatinya saat pertemuanku dengannya di alun-alun beberapa minggu yang lalu. “Tersenyumlah, suasana hati dan pikiranmu akan lebih baik setelahnya.” Suara gadis itu mengiang di telingaku, memaksaku untuk menaikkan ujung-ujung bibirku. Aku harus menghubungi gadis itu lagi, ya, harus. Aku mencari nomor telepon gadis itu dan akan menekan tombol call sebelum akhirnya memutuskan untuk mengiriminya pesan singkat saja.
“Hai, coba
keluar, bulan malam ini sangat indah.” Ketikku dalam pesan singkat. lima belas
menit berlalu tanpa balasan. Kuketik pesan lagi, “Bagaimana kabarmu?” lebih
dari 15 menit aku menunggu hingga gadis itu membalas. “Iyaa terima kasih sudah
memberitahuku tentang bulan purnama ini, meskipun aku sudah tau. Aku baik-baik
saja.”
“Benarkah? Aku lega kalau begitu. J Kamu tidak lupa denganku kan? hehehe”
“Tidak, tapi aku otw melupakanmu. Wkwk”
Ya Tuhan, dia mulai melupakanku, aku menjerit dalam hati. Sebenci itukah kamu padaku hingga kamu harus melupakanku? Tapi yah, aku memang salah.
“Hmm begitu, maaf aku mengganggu prosesmu melupakan aku. Aku hanya ingin meminta maaf. Sungguh, aku tak bisa tenang. Aku selalu merasa bersalah sudah membuatmu menangis malam itu. Aku belum dapat memaafkan diriku sendiri karena itu.” Aku menekan tombol send dan meletakkan ponsel di sebelahku. Diam. Hening. Berharap dia cepat membalas pesanku, meskipun rasanya aku tak sanggup lagi membalas pesannya.
Setelah 10 menit
tak ada balasan, kuputuskan untuk mulai mengerjakan tugas kuliahku. Dengan hati
tak tentu pastinya, aku mulai menggambar. Yah gambar, aku mahasiswa arsitektur.
Aku berusaha menggambar tugas desain yang diberi dosenku tadi pagi. Setiap aku
menggoreskan pensilku justru gambar abstrak yang terbentuk. Lebih dari setengah
jam aku seperti itu. Aku menyerah, rasanya akku tak bisa menyelesaikan tugas
ini sebelum pesan singkatku dibalasnya. Berkali-kali aku melirik handphoneku
berharap ada pesan singkat darinya. Mungkin dia sudah tidak ingin berkomunikasi
denganku lagi, kataku dalam hati. Kurebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku menyerah.
Lagi-lagi gadis
itu. Mengapa aku tak bisa mengalihkan perhatianku darinya Ya Tuhan? Aku selalu
merasa bersalah padanya. Menyakitkan sekali rasanya ketika tahu gadis tangguh
yang selama ini kukenal itu menangis. Dan dia menangis karena aku. Maafkan aku
bulanku. Aku tak ingin kau bergantung padaku, lelaki yang tak bisa memberikan
seluruh cintanya padamu.
“Tak perlu
berlebihan seperti itu, aku sudah memaafkanmu. Belum bisa memaafkan dirimu bukan
berarti kamu tak bisa memperbaiki diri kan? Perbaiki dirimu saja terlebih
dahulu. J” gadis
itu membalas satu setengah jam kemudian.
Di luar sana, bulan
purnama tertutup cumulonimbus.
No comments:
Post a Comment