Sunday, July 21, 2019

Mencintai Tak Pernah Mudah, Dicintai Tak Selalu Indah (4)

"Aku sudah memutuskan untuk bersamamu."
"Apakah kamu yakin bahwa aku bukan pelarian, pelampiasan, ya sejenis itu ?"
"Apakah kamu merasa apa yang kulakukan untukmu adalah sesuatu yang kubuat-buat ? Aku rasa itu cukup untuk menjawab bahwa kamu bukan pelarian."

***

Aku bermain licik saat itu. Ah bukan licik juga. Hei, menutupi kebenaran untuk permainan di mana kita harus menutupi jati diri kita bukan sesuatu yang salah bukan ? Begitulah, aku yang sebenarnya berperan sebagai Spy, mengeluarkan kartu hitam saat bermain berdua dengannya yang berperan sebagai Resistance. Mungkin muka polos dan sebagai yang lebih tua dibanding pemain lainnya membuat mereka percaya bahwa aku adalah pemegang kartu merah. Takut kalah sebetulnya karena aku membuka jati diriku di awal permainan. Untung ada anak itu yang bisa dijadikan kambing hitam ehehe. 

Sambil bermain, sebagian di antara kami memasak dan permainan dihentikan ketika makanan sudah siap. Aku lupa menu hari itu apa, sepertinya capcay. Tidak, aku tidak makan berdua dengannya lagi. Setelah sarapan selesai, briefing pun dimulai. Hari itu kami kembali terbagi menjadi dua tim, satu tim di Desa A dan satu tim di Desa B. Personil di dalam tim ditukar. Aku dan ketiga temanku serta dua orang adik tingkat (iya, salah satunya adalah dia) bertugas di Desa B. Total 6 orang, 3 laki-laki, 3 perempuan.

Perjalanan ke Desa B tidak terlalu sulit sebetulnya. Hanya saja medan yang menanjak membuat kami yang lebih tua menjadi lebih mudah lelah, "Dasar adik-adik gak tahu diri, masa yang sudah tua disuruh naik-naik". Ada beberapa barang yang kami bawa, cemilan, buku, kitab, juga satu bak air. Di tengah perjalanan, ada dua jalur yang bisa kami tempuh, satu jalur yang lebih landai dengan kondisi jalan yang sudah rapi berbatu namun sedikit jauh, dan satu jalur yang terjal dengan kondisi menerobos perkebunan, namun lebih dekat. Di persimpangan itu kami berhenti. Adik tingkat menyarankan untuk menerobos perkebunan karena dia sering lewat situ dan lebih dekat. Aku dan dua teman perempuanku sedikit keberatan karena medan yang terlihat seolah longsor jika kami lewati. Kami pun memilih jalur yang berbeda. Adik tingkat tadi dan teman laki-lakiku memilih menerobos perkebunan. Sementara aku dan teman-teman perempuanku memilih lewat jalur biasa. Satu orang kebingungan harus memilih yang mana. Dengan membawa bak air yang cukup besar, setelah lama memandangi jalur yang harus dipilih, akhirnya dia ikut berjalan di belakang kami melewati jalur biasa. "Biar ada yang jagain juga"

"Jadi gimana pembagian ngajarnya nih?
"Aku mau kelas yang paling rendah ya, TK, SD 123 aja"
"Kamu ngajar ngaji anak-anak yang udah gede aja yaa, aku gak jago nih."

Aku sengaja lambat-lambat dalam memilih. Mengambil pilihan yang tersisa saja. Anak-anak terbagi menjadi tiga kelompok, dua kelompok sudah diambil temanku dan tinggal satu kelompok. Akhirnya aku dan anak itu mengajar kelompok tengah ini. Wangi yang lembut, suara berat dan canggung itu pun semakin akrab tersentuh.

Pembelajaran selesai, saatnya pengumuman pemenang dan juga pembagian hadiah. Ada foto bersama juga, termasuk pengambilan sebuah foto yang di kemudian hari nanti akan jadi sesuatu yang berkesan dalam lingkungan kami. 

Sebelum kembali ke basecamp, kami membersihkan mushola yang baru saja kami pakai. Menyapu, mengepel, yaa semacam itu. Tak disangka kain pel yang kami gunakan luntur dan membekas di tanganku, warna ungu. "bisa hilang gak kak ?"  "bisa, cuma gak tau kapan, udah kucuci berkali-kali belum hilang. Udah selesai ? Pulang yuk, aku piket masak nih."

Di perjalanan pulang, kami bertemu ketua RT tepat di spot foto favorit kami. Untuk kenang-kenangan, kami meminta tolong pada pak RT untuk memotret kami. Voila. Dia di sebelahku.
Perjalanan pulang, ia berada di paling belakang barisan. Kali ini kami lewat jalan yang lain, berbeda dengan saat berangkat, menerobos perkebunan, entah akan sampai ke basecamp atau tidak.

***

Sebenarnya aku ingin menceritakan perjalanan tiga malam dua hari itu dengan lengkap, tapi sepertinya akan membosankan. Aku cukupkan saja tentang perjalanan itu ya. Perjalanan yang mungkin akan kuingat seumur hidupku (Aku sekarang 22 tahun, yaa mungkin cukup akan kuingat 22 tahun lagi saja. Tidak lebih.) Tentang apa yang terjadi setelah itu, ya kami berempat belas pulang naik angkot dan kereta. Di stasiun, dia minum teh kotak blueberry (sepertinya, entah apa rasanya, warna kemasannya ungu). Dari stasiun menuju tempat tinggal, kami satu mobil, aku di sebelahnya. Kami tidak langsung sampai ke tempat tinggal masing-masing. Kami turun di kampus, lalu berjalan ke tempat tinggal kami. Aku dan dia searah, jadi kami beriringan. Canggung, sedikit. Ada beberapa percakapan basa-basi, hanya saja aku lupa tentang apa. Aku sampai di tempat tinggalku, dan dia melanjutkan perjalanannya, berpisah dengan canggung. 



Bersambung, 
2:58am.160719

No comments:

Post a Comment