"Kalau disuruh memilih antara dicintai atau mencintai, kamu akan memilih yang mana ?" sebuah pertanyaan masuk ke salah satu akun tanya jawab milikku.
"Buat seorang perempuan, lebih baik ia dicintai daripada mencintai, karena orang yang mencintai akan memperlakukan orang yang dicintai dengan sebaik-baiknya. perempuan itu kalau sudah cinta biasanya susah move on. beruntung jika yang ia cintai adalah orang yang baik, jika tidak ? bisa jadi sakit hati dan mungkin cedera fisik juga kan ? jika perempuan itu dicintai, dia pasti diperlakukan dengan baik oleh laki-laki yang mencintainya. Tapi tak ada salahnya mencintai, karena dengan mencintai, seseorang bisa lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih banyak berbuat baik karena orang yang mencintai selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk yang dia cintai." jawabku saat itu
***
x
x
Tahun terakhirku di universitas begitu banyak kejadian yang mungkin tak bisa kulupakan. Kesibukan non akademik yang bertumpuk diikuti kesibukan akademik saat semester ganjil membuatku kuwalahan. Di tahun terakhir ini aku sekelas dengan seseorang yang sangat aku idamkan sejak masa orientasi. Aku tentu saja bahagia, tetapi sepertinya dia tidak. Ah sudahlah. Setelah dua semester sebelumnya aku benar-benar berjuang untuk sembuh dan hampir berhasil, sekarang dunia seakan mempermainkan aku dengan menyatukan kami dalam satu kelas. Ya benar, kami pernah sedekat Minggu ke Senin sebelum sejauh Senin ke Minggu. Seseorang yang aku sukai, namun masih terbayang trauma masa lalu. Kami tak pernah memulai, pun mengakhiri. Hanya tiba-tiba saja kami tak lagi saling menyapa karena sebuah salah paham dan aku melihatnya bersama gadis lain. Kejadian itu terjadi pada tahun keduaku di universitas. Pada tahun keempat ini, sebut saja hubungan kami sudah membaik kembali meski sesekali pertengkaran kecil tak terhindari. Tidak, kami tidak menjalin hubungan apapun. Aku menyukainya, namun dia masih menyukai gadis itu.
"Kak, bisa ikut peninjauan ?"
"Kapan?"
"Akhir bulan ini kak."
"Baiklah, sepertinya bisa."
Akhir bulan 11 aku mengikuti sebuah peninjauan kegiatan sosial UKM yang aku ikuti. Pesertanya, aku dan 3 orang teman seangkatanku, dan sisanya adalah adik tingkat. Ada satu anak yang tidak pernah kulihat sebelumnya ikut dalam kegiatan ini. Dia memang terdaftar dalam kepanitiaan, tapi melihat batang hidungnya muncul pun seingatku hanya sekali saat rapat persiapan. Dia tidak pernah mengikuti event yang diselenggarakan. Namun, aku sangat hafal dengan anak ini. Bagaimana tidak, karena dia aku harus repot-repot menjelaskan bahkan hampir bertengkar dengan koordinator yang lain dan mitra kami dalam mencari dana kegiatan. Aku pun tak begitu menggubrisnya karena dia juga terlihat pendiam.
Kami berangkat peninjauan pada malam hari. Aku sudah bertemu anak itu lebih dulu di lampu merah yang harus kami sebrangi untuk sampai di titik kumpul. Hampir saja kami tertinggal kereta menuju tempat kegiatan. Syukurlah, Tuhan masih berbaik hati dan merestui niat baik kami. Kami sampai di desa tujuan pada pagi hari. Kami beristirahat sebentar sambil membahas tentang kegiatan kami. Kegiatan yang akan kami lakukan adalah mengajar siswa SD. Ya benar, aku menjadi partner anak itu mengajar. Ragu sebetulnya, yah terima sajalah. Sebenarnya secara fisik anak itu menarik, melihat dia aku merasa seperti melihat orang yang aku sukai sejak masa orientasi tadi. Sejenak aku terpana saat dia mempraktikkan materi yang akan kami ajarkan. Aku jadi tahu tanggal lahirnya dan ternyata kami lahir di bulan yang sama. Selesai briefing, kami sarapan. Sudah menjadi kebiasaan dalam kegiatan kami ini bahwa ketika makan, maka kami akan makan bersama. Satu piring untuk berdua dan biasanya dengan orang berjenis kelamin sama. Sialnya atau justru untungnya, jumlah kami sekarang ganjil dan satu temanku sudah memutuskan untuk makan sendiri. Aku terlambat datang dan hanya tinggal anak itu yang belum mendapat pasangan makan.
"Kak, makan", dia memanggilku.
"Iya." sahutku sambil mengambil tempat duduk di depannya.
Meskipun dia ini laki-laki, namun makannya lambat sekali, sama sepertiku -aku lebih lambat dari dia. Jadilah kami sebagai orang terakhir yang selesai makan. Saat itu, rasa kesalku kepada dia sudah berkurang.
Kami pun menuju sekolah tempat kami akan mengajar. Surprise! Semua rencana tidak bisa dilakukan karena anak-anak sekolah itu sudah pulang. Jadilah kami hanya menemani mereka bermain sepakbola dan kasti. Dia ikut nimbrung bermain sepakbola juga. Hmm, menarik.
Sepulangnya, kami mampir ke rumah Ibu Kepala Sekolah. Di sana kami disuguhi berbagai buah-buahan. Anak itu datang belakangan dan duduk di belakangku. Dia makan buah yang disajikan cukup banyak, jika tidak salah ingat aku sempat menuangkan minum untuknya. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke homestay dan makan siang. Lagi-lagi aku harus makan berpasangan dengannya. Kali ini, dia tidak bisa menghabiskan makanan seperti saat sarapan karena sudah kekenyangan makan buah tadi. Tapi tetap kupaksa dia menghabiskan makanan. "Kan kamu laki-laki", kataku.
...
Bersambung.
6719
No comments:
Post a Comment