Monday, June 15, 2020

Terima Kasih

"maaf yaa aku nyusahin..."
"Ya emang nyusahin. Nyusahin bukan karna kamu ketiduran bukan karna kamu ga dapat ttd. Nyusahinnya karna km ga bilang dari awal kendalamu. Ada kalanya kalau kita jgn ngerasa sok kuat, Ka. Jgn hancur kayak aku."

---

Dalam hidup ini kita bertemu dengan banyak orang. Ada yang kita temui karena suatu urusan, ada yg kita temui untuk memberikan pelajaran, ada pula yang kita temui tapi tidak bisa kita bersamai. Mungkin salah satunya adalah kamu. Yaah, meskipun masih terlalu dini untuk menarik kesimpulan bahwa kita bertemu bukan untuk bersatu.

Akan aku ceritakan padamu seandainya nanti kita bertemu di situasi yang tidak lagi sama. Tapi mungkin saat itu akan lama sekali datangnya, dan bisa jadi setelah bertemu kita tak bisa bercengkrama. Jadi akan kutulis disini saja. Untukmu, jika suatu hari nanti aku lupa.

"Aku bersyukur kepada Tuhan bisa bertemu denganmu. Yah meskipun hanya selama kuliah. First impression yang bagus, aku menyukaimu. Sejak tahun pertama sampai tahun terakhir bahkan sekarang, aku masih menyukaimu.
Sekarang setelah kurang lebih tiga bulan kita tidak berbincang, aku menyadari sesuatu. Dulu aku pikir pertemuan kita -yang tentu saja cukup akrab- pada tahun pertama dan tahun terakhir kuliah adalah takdir. Sekarang pun aku masih berpikir begitu. Hanya saja jika dulu aku berharap itu adalah sebuah pertanda bahwa kita bisa membersamai, saat ini aku berpikir bahwa pertemuan kita adalah salah satu cara Tuhan untuk menjagaku. Menjagaku untuk tidak malas lewat kamu yang tidak suka orang malas. Menjagaku dari kebiasaan mengucapkan kata kotor melalui kamu yang memarahiku setelah berkata kotor. Menjagaku untuk terus berprestasi lewat kamu yang selalu mengukir prestasi. Menjagaku untuk tetap "on track" saat tingkat awal dan tingkat akhir. Dan juga menjagaku untuk tetap menjadi gadis baik lewat pesan-pesanmu.
Yaah, sekali lagi, mungkin ini masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Tapi aku bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepadamu karena telah menjagaku dan memberikanku pelajaran. Sungguh, aku belajar banyak darimu. Dan seandainya memang kehadiranmu hanya sebatas itu, sungguh aku tetap bersyukur. Terima kasih, Ram."

Sunday, March 15, 2020

Mencintai Tak Pernah Mudah, Dicintai Tak Selalu Indah (5)

"Sudahlah, aku tidak peduli tidak diakui, yang penting aku mengakuimu. Aku juga tidak ada waktu untuk memintamu mengakuiku. Yang penting aku berbuat baik kepada siapa saja termasuk kamu."

***

Dahulu aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya mencintai dan dicintai oleh orang yang kita cintai. Iya, saat itu aku sedang mencintai seseorang. Dia pernah mencintaiku, tapi tak ada ikatan resmi di antara kami. Kami pun tiba-tiba mengakhiri tanpa pernah betul-betul memulai. Aku tetap bertahan pada perasaanku, tapi dia sepertinya tidak. Dia sudah menemukan gadis lain. Meskipun demikian, sesekali dia masih sering bercerita kepadaku. Bercerita betapa sakitnya dia, keinginannya, kemarahannya, yaa apapun. Aku menjadi tempatnya berbagi keluh kesah, dia menjadi tempatku mengadu resah. Tanpa ikatan, dan aku masih menyimpan perasaan. Saat itu dia merasa dia adalah sampah. Dalam hatiku, "kalau kamu sampah, berarti aku tempat sampah ? atau aku cuma sekedar samsak tempatmu melepas marah ?" Sesekali ia terlihat sangat peduli, menyapaku riang, berbincang santai, yaa kembali seperti dulu saat kami sama-sama tahu bahwa hati kami saling memiliki meski tanpa ikatan resmi. Namun jauh dalam hatiku, aku tak bisa bersikap biasa saja saat bertemu dengannya. Aku masih canggung. Api pembakar hubungan kami masih terasa membatasi. 

Waktu berlalu dan kami bertemu dalam satu kelas. Aku sangat senang, tapi sepertinya dia tidak. Begitulah, hingga akhirnya aku bertemu adik tingkat itu. Aku menceritakan padanya tentang itu. Tanggapan dia ? Luar biasa marah. Dia tak pernah menganggapku meskipun selama ini aku dengan gamblang menyatakan perasaanku, lalu kenapa sekarang dia marah? bukankah seharusnya dia senang karena aku tidak akan mengusiknya lagi? Kami saling mendiamkan saat di kelas. Sebenarnya selama ini tak pernah berkomunikasi juga. Tapi yang ini betul-betul terasa bahwa dia marah dan mendiamkan aku. "Maaf sempat cemburu", katanya setelah sekian lama. Mengapa baru sekarang? Aku juga ingin merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh orang yang aku cintai. Lalu kenapa baru sekarang kamu mengatakan itu ketika aku merasa aku sudah menemukan orang yang mencintai aku dan aku mencintainya? Aku lelah.

"tenang saja, aku tidak berpikir untuk kembali, aku hanya peduli pada akademikmu."

***

"hati-hati di jalan! ♡"

Sebuah pesan singkat yang tertulis dalam kemasan coklat yang dimasukkan diam-diam ke dalam tasku pagi itu. Aku akan pulang ke rumah, liburan akhir tahun sekaligus libur semester 7. Dia tidak pulang. PKL membuatnya tidak bisa menikmati liburan akhir tahun karena tahun ajaran yang waktunya dipadatkan sehingga semester 6 dimulai lebih awal. Dia mengantarkan aku ke stasiun, setelah malamnya kami nonton film. Diantar ke stasiun adalah suatu hal berharga bagiku yang selama ini selalu pergi ke stasiun sendiri. Di sekitar gerbang check in aku masih saja berdiri di sebelahnya, dia menatapku, aku menatapnya. "gak papa, cuma tiga minggu ini kan..."


"aku sudah di kereta. Hey kapan kamu memasukkan coklat ini? Aku tidak sadar sama sekali"
"tadi waktu antre check-in. Ah payah kamu, seandainya aku copet sudah habis barangmu. Tadi bahkan aku sampai diliatin orang-orang dikira copet."
"ah gituu... Makasih yaaa hehe"
"emm... Kita boleh pacaran? Aku udah sayang kamu. Aku mau bilang langsung, tapi tidak berani, jadi tadi coklatnya kumasukkan saja ke tasmu"
...

***
"aku bingung"
"bingung kenapa?"
"si anu ngechat, dia ngajak balikan"
"balikan aja, dia tidak terbiasa tanpa kamu, sementara aku biasa sendiri, lagian kita baru bertemu sebentar, kamu yakin aku bukan pelarian atau semacamnya?
"gak. Menurutmu yang selama ini kulakukan buatmu itu aku buat-buat?
"tidak sih..."
"aku rasa itu cukup untuk membuktikan kamu bukan pelarian."

Sunday, July 28, 2019

untukmu, yang pernah, masih, atau akan hadir

tetaplah menjadi asing,
agar tentangmu aku tak perlu berpusing.
tetaplah menjadi jauh,
agar rasaku tak kembali jatuh.
tetaplah menjadi tega,
agar anganku tak lagi menggila.

280719-2.16pm

Sunday, July 21, 2019

Mencintai Tak Pernah Mudah, Dicintai Tak Selalu Indah (4)

"Aku sudah memutuskan untuk bersamamu."
"Apakah kamu yakin bahwa aku bukan pelarian, pelampiasan, ya sejenis itu ?"
"Apakah kamu merasa apa yang kulakukan untukmu adalah sesuatu yang kubuat-buat ? Aku rasa itu cukup untuk menjawab bahwa kamu bukan pelarian."

***

Aku bermain licik saat itu. Ah bukan licik juga. Hei, menutupi kebenaran untuk permainan di mana kita harus menutupi jati diri kita bukan sesuatu yang salah bukan ? Begitulah, aku yang sebenarnya berperan sebagai Spy, mengeluarkan kartu hitam saat bermain berdua dengannya yang berperan sebagai Resistance. Mungkin muka polos dan sebagai yang lebih tua dibanding pemain lainnya membuat mereka percaya bahwa aku adalah pemegang kartu merah. Takut kalah sebetulnya karena aku membuka jati diriku di awal permainan. Untung ada anak itu yang bisa dijadikan kambing hitam ehehe. 

Sambil bermain, sebagian di antara kami memasak dan permainan dihentikan ketika makanan sudah siap. Aku lupa menu hari itu apa, sepertinya capcay. Tidak, aku tidak makan berdua dengannya lagi. Setelah sarapan selesai, briefing pun dimulai. Hari itu kami kembali terbagi menjadi dua tim, satu tim di Desa A dan satu tim di Desa B. Personil di dalam tim ditukar. Aku dan ketiga temanku serta dua orang adik tingkat (iya, salah satunya adalah dia) bertugas di Desa B. Total 6 orang, 3 laki-laki, 3 perempuan.

Perjalanan ke Desa B tidak terlalu sulit sebetulnya. Hanya saja medan yang menanjak membuat kami yang lebih tua menjadi lebih mudah lelah, "Dasar adik-adik gak tahu diri, masa yang sudah tua disuruh naik-naik". Ada beberapa barang yang kami bawa, cemilan, buku, kitab, juga satu bak air. Di tengah perjalanan, ada dua jalur yang bisa kami tempuh, satu jalur yang lebih landai dengan kondisi jalan yang sudah rapi berbatu namun sedikit jauh, dan satu jalur yang terjal dengan kondisi menerobos perkebunan, namun lebih dekat. Di persimpangan itu kami berhenti. Adik tingkat menyarankan untuk menerobos perkebunan karena dia sering lewat situ dan lebih dekat. Aku dan dua teman perempuanku sedikit keberatan karena medan yang terlihat seolah longsor jika kami lewati. Kami pun memilih jalur yang berbeda. Adik tingkat tadi dan teman laki-lakiku memilih menerobos perkebunan. Sementara aku dan teman-teman perempuanku memilih lewat jalur biasa. Satu orang kebingungan harus memilih yang mana. Dengan membawa bak air yang cukup besar, setelah lama memandangi jalur yang harus dipilih, akhirnya dia ikut berjalan di belakang kami melewati jalur biasa. "Biar ada yang jagain juga"

"Jadi gimana pembagian ngajarnya nih?
"Aku mau kelas yang paling rendah ya, TK, SD 123 aja"
"Kamu ngajar ngaji anak-anak yang udah gede aja yaa, aku gak jago nih."

Aku sengaja lambat-lambat dalam memilih. Mengambil pilihan yang tersisa saja. Anak-anak terbagi menjadi tiga kelompok, dua kelompok sudah diambil temanku dan tinggal satu kelompok. Akhirnya aku dan anak itu mengajar kelompok tengah ini. Wangi yang lembut, suara berat dan canggung itu pun semakin akrab tersentuh.

Pembelajaran selesai, saatnya pengumuman pemenang dan juga pembagian hadiah. Ada foto bersama juga, termasuk pengambilan sebuah foto yang di kemudian hari nanti akan jadi sesuatu yang berkesan dalam lingkungan kami. 

Sebelum kembali ke basecamp, kami membersihkan mushola yang baru saja kami pakai. Menyapu, mengepel, yaa semacam itu. Tak disangka kain pel yang kami gunakan luntur dan membekas di tanganku, warna ungu. "bisa hilang gak kak ?"  "bisa, cuma gak tau kapan, udah kucuci berkali-kali belum hilang. Udah selesai ? Pulang yuk, aku piket masak nih."

Di perjalanan pulang, kami bertemu ketua RT tepat di spot foto favorit kami. Untuk kenang-kenangan, kami meminta tolong pada pak RT untuk memotret kami. Voila. Dia di sebelahku.
Perjalanan pulang, ia berada di paling belakang barisan. Kali ini kami lewat jalan yang lain, berbeda dengan saat berangkat, menerobos perkebunan, entah akan sampai ke basecamp atau tidak.

***

Sebenarnya aku ingin menceritakan perjalanan tiga malam dua hari itu dengan lengkap, tapi sepertinya akan membosankan. Aku cukupkan saja tentang perjalanan itu ya. Perjalanan yang mungkin akan kuingat seumur hidupku (Aku sekarang 22 tahun, yaa mungkin cukup akan kuingat 22 tahun lagi saja. Tidak lebih.) Tentang apa yang terjadi setelah itu, ya kami berempat belas pulang naik angkot dan kereta. Di stasiun, dia minum teh kotak blueberry (sepertinya, entah apa rasanya, warna kemasannya ungu). Dari stasiun menuju tempat tinggal, kami satu mobil, aku di sebelahnya. Kami tidak langsung sampai ke tempat tinggal masing-masing. Kami turun di kampus, lalu berjalan ke tempat tinggal kami. Aku dan dia searah, jadi kami beriringan. Canggung, sedikit. Ada beberapa percakapan basa-basi, hanya saja aku lupa tentang apa. Aku sampai di tempat tinggalku, dan dia melanjutkan perjalanannya, berpisah dengan canggung. 



Bersambung, 
2:58am.160719

Thursday, July 11, 2019

Mencintai Tak Pernah Mudah, Dicintai Tak Selalu Indah (3)

"Benar kata orang, jatuh cinta itu sekian detik saja bisa, merawatnya yang susah."

***




Sabtu sore, aku dan beberapa kawanku yang lain mengajar anak-anak di desa itu. Ada dua desa yang kami kunjungi. Sebut saja desa A dan desa B. Desa A tempat kami menginap penduduknya lebih banyak. Lokasinya pun bisa terbilang lebih mudah dijangkau daripada desa B yang berada di dataran yang lebih tinggi. Kami terbagi menjadi dua kelompok dalam kegiatan ini. Aku di desa A bersama teman-temanku yang seangkatan dan dua adik tingkat. Sedangkan yang lain mengajar di desa B. 

Sungguh terasa sekali perbedaan anak-anak di desa dan di kota. Di desa, anak-anak masih sulit menangkap materi pembelajaran yang diberikan. Hanya satu-dua saja yang mampu mengerti dengan mudah. Namun, semangat mereka patut mendapatkan apresiasi. Hadir tepat waktu, berpenampilan rapi, dan menyiapkan alat tulis mereka -yang pada akhirnya aku tahu bahwa kebanyakan dari mereka kekurangan buku tulis. Begitulah, di masjid Desa A yang menjadi titik kumpul warga-warga ini kami bisa berbagi ilmu dengan adik-adik itu. Materi yang diajarkan ? tidak jauh dari materi akademik. matematika, IPA, kebersihan dan kesehatan. Sungguh, rasanya bahagia sekali bisa berbagi dengan mereka. Melihat mereka tertawa, tersenyum, malu-malu, tersipu, bingung, ah banyak sekali ekspresi yang mereka tunjukkan. Tuhan sangat berbaik hati mempertemukan aku dengan mereka saat aku sedang dalam masa-masa kehilangan semangat.  

Malam itu kami makan nasi dengan lauk spagetti dan krupuk sebagai pelengkap. Ya, hujatlah, toh yang penting kami makan. Kali ini aku tidak makan bersama anak itu lagi. Dia makan sendirian. Ketika semuanya sudah selesai makan, tinggal aku saja yang belum selesai sampai ditinggalkan oleh partner makanku. "kamu memang harus makan bareng si anu deh biar ada yang nungguin."

"Jadi besok kita tukar ya kak, yang tadi di Desa A, besok ke Desa B."
"Tapi kan aku gak tau kalian tadi mengajarkan apa di Desa B ?"
"Emm gimana ya, oh gini aja kak, kita tukar soal aja, jadi aku buat soal untuk Desa B, kakak buat soal untuk Desa A. nah nanti kita tukar."
"Oke, setuju." 
"Eh kak, si anu mau ikut ke desa B lagi yaa. Katanya masih penasaran sama kembang desanya."

Malam itu, adik-adik tingkatku itu bermain kartu Spy-Resistance di homestay kami. Aku sangat lelah dan ingin tidur sebetulnya, tapi mereka masih betah main. Anak itu selalu dituduh jadi orang jahat. Kasihan sekali. Setelah aku mandi dan kurasa terlalu malam untuk mereka main, aku menyuruh mereka pergi. 

***

Pagi ini dimulai dengan memotong-motong sayur dan memasak. Tidak, bukan aku yang memasak, aku hanya membantu saja. Adik-adik tingkat itu datang lagi dan memainkan hal yang sama. Awalnya aku tidak tertarik, tapi sepertinya asik. 

"Jadi gini kak, ada Spy ada Resistance. Spy bisa mengeluarkan kartu merah dan hitam. tapi Resistance hanya bisa merah. Resistance harus menebak siapa Spy. kakak bisa milih beberapa orang buat diajak main, sesuai ketentuan. poinnya dihitung dari berapa banyak kartu muncul. jika kartu yang muncul semuanya merah, maka satu poin untuk resistance. namun jika kartu hitam muncul, maka satu poin untuk Spy."
"Oke."
"Mulai dari anu ya, pilih satu orang buat diajak main. 
"Aku mau ajak kakak."

...

di matamu, aku menemukan binar itu kembali. 
hatiku bilang akan menyimpan momen ini. 


Bersambung. 1107


Saturday, July 6, 2019

Mencintai Tak Pernah Mudah, Dicintai Tak Selalu Indah (2)

"Kalau disuruh memilih antara dicintai atau mencintai, kamu akan memilih yang mana ?" sebuah pertanyaan masuk ke salah satu akun tanya jawab milikku. 

"Buat seorang perempuan, lebih baik ia dicintai daripada mencintai, karena orang yang mencintai akan memperlakukan orang yang dicintai dengan sebaik-baiknya. perempuan itu kalau sudah cinta biasanya susah move on. beruntung jika yang ia cintai adalah orang yang baik, jika tidak ? bisa jadi sakit hati dan mungkin cedera fisik juga kan ? jika perempuan itu dicintai, dia pasti diperlakukan dengan baik oleh laki-laki yang mencintainya. Tapi tak ada salahnya mencintai, karena dengan mencintai, seseorang bisa lebih peka terhadap perasaan orang lain, lebih banyak berbuat baik karena orang yang mencintai selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk yang dia cintai." jawabku saat itu 


***
x



Tahun terakhirku di universitas begitu banyak kejadian yang mungkin tak bisa kulupakan. Kesibukan non akademik yang bertumpuk diikuti kesibukan akademik saat semester ganjil membuatku kuwalahan. Di tahun terakhir ini aku sekelas dengan seseorang yang sangat aku idamkan sejak masa orientasi. Aku tentu saja bahagia, tetapi sepertinya dia tidak. Ah sudahlah. Setelah dua semester sebelumnya aku benar-benar berjuang untuk sembuh dan hampir berhasil, sekarang dunia seakan mempermainkan aku dengan menyatukan kami dalam satu kelas. Ya benar, kami pernah sedekat Minggu ke Senin sebelum sejauh Senin ke Minggu. Seseorang yang aku sukai, namun masih terbayang trauma masa lalu. Kami tak pernah memulai, pun mengakhiri. Hanya tiba-tiba saja kami tak lagi saling menyapa karena sebuah salah paham dan aku melihatnya bersama gadis lain. Kejadian itu terjadi pada tahun keduaku di universitas. Pada tahun keempat ini, sebut saja hubungan kami sudah membaik kembali meski sesekali pertengkaran kecil tak terhindari. Tidak, kami tidak menjalin hubungan apapun. Aku menyukainya, namun dia masih menyukai gadis itu. 

"Kak, bisa ikut peninjauan ?"
"Kapan?"
"Akhir bulan ini kak."
"Baiklah, sepertinya bisa."

Akhir bulan 11 aku mengikuti sebuah peninjauan kegiatan sosial UKM yang aku ikuti. Pesertanya, aku dan 3 orang teman seangkatanku, dan sisanya adalah adik tingkat. Ada satu anak yang tidak pernah kulihat sebelumnya ikut dalam kegiatan ini. Dia memang terdaftar dalam kepanitiaan, tapi melihat batang hidungnya muncul pun seingatku hanya sekali saat rapat persiapan. Dia tidak pernah mengikuti event yang diselenggarakan. Namun, aku sangat hafal dengan anak ini. Bagaimana tidak, karena dia aku harus repot-repot menjelaskan bahkan hampir bertengkar dengan koordinator yang lain dan mitra kami dalam mencari dana kegiatan. Aku pun tak begitu menggubrisnya karena dia juga terlihat pendiam. 

Kami berangkat peninjauan pada malam hari. Aku sudah bertemu anak itu lebih dulu di lampu merah yang harus kami sebrangi untuk sampai di titik kumpul. Hampir saja kami tertinggal kereta menuju tempat kegiatan. Syukurlah, Tuhan masih berbaik hati dan merestui niat baik kami. Kami sampai di desa tujuan pada pagi hari. Kami beristirahat sebentar sambil membahas tentang kegiatan kami. Kegiatan yang akan kami lakukan adalah mengajar siswa SD. Ya benar, aku menjadi partner anak itu mengajar. Ragu sebetulnya, yah terima sajalah. Sebenarnya secara fisik anak itu menarik, melihat dia aku merasa seperti melihat orang yang aku sukai sejak masa orientasi tadi. Sejenak aku terpana saat dia mempraktikkan materi yang akan kami ajarkan. Aku jadi tahu tanggal lahirnya dan ternyata kami lahir di bulan yang sama. Selesai briefing, kami sarapan. Sudah menjadi kebiasaan dalam kegiatan kami ini bahwa ketika makan, maka kami akan makan bersama. Satu piring untuk berdua dan biasanya dengan orang berjenis kelamin sama. Sialnya atau justru untungnya, jumlah kami sekarang ganjil dan satu temanku sudah memutuskan untuk makan sendiri. Aku terlambat datang dan hanya tinggal anak itu yang belum mendapat pasangan makan. 

"Kak, makan", dia memanggilku.
"Iya." sahutku sambil mengambil tempat duduk di depannya. 

Meskipun dia ini laki-laki, namun makannya lambat sekali, sama sepertiku -aku lebih lambat dari dia. Jadilah kami sebagai orang terakhir yang selesai makan. Saat itu, rasa kesalku kepada dia sudah berkurang. 

Kami pun menuju sekolah tempat kami akan mengajar. Surprise! Semua rencana tidak bisa dilakukan karena anak-anak sekolah itu sudah pulang. Jadilah kami hanya menemani mereka bermain sepakbola dan kasti. Dia ikut nimbrung bermain sepakbola juga. Hmm, menarik. 

Sepulangnya, kami mampir ke rumah Ibu Kepala Sekolah.  Di sana kami disuguhi berbagai buah-buahan. Anak itu datang belakangan dan duduk di belakangku. Dia makan buah yang disajikan cukup banyak, jika tidak salah ingat aku sempat menuangkan minum untuknya. Setelah dirasa cukup, kami kembali ke homestay dan makan siang. Lagi-lagi aku harus makan berpasangan dengannya. Kali ini, dia tidak bisa menghabiskan makanan seperti saat sarapan karena sudah kekenyangan makan buah tadi. Tapi tetap kupaksa dia menghabiskan makanan. "Kan kamu laki-laki", kataku.


... 

Bersambung.

6719
   

Friday, May 10, 2019

Layu

mendung menggantung
tetes air bergelung menunggu jatuh 
detak jam tak henti menunggu
hati masih meragu

detak jam mulai tak sabar
kaki melangkah dengan gentar
masih, awan mempermainkan
air bergelung dalam sangkar

detak jam berhenti
menatap dalam penuh arti
kaki terpaku pada bumi
jemari meronta hendak pergi

detak jam melambat
membiarkan jemari tertambat
kaki meronta tak kuat
sepasang mata menahan lekat

gelap


10052019-0:16